13 June, 2010

PENGERTIAN ATAU DEFINISI DARI IQ, EQ DAN SQ

A. PENGERTIAN ATAU DEFINISI DARI IQ, EQ DAN SQ

1. Kecerdasan Intelektual (IQ)

Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. sedangkan IQ atau singkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.

Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.

Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.

IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan. IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional. Awal untuk melihat IQ seorang anak adalah pada saat ia mulai berkata-kata. Ada hubungan langsung antara kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya. Apabila seorang anak dengan IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan bahasanya akan cepat dan banyak.

Rumus kecerdasan umum, atau IQ yang ditetapkan oleh para ilmuwan adalah :

Usia Mental Anak

x 100 = IQ

Usia Sesungguhnya

Contoh : Misalnya anak pada usia 3 tahun telah punya kecerdasan anak-anak yang rata-rata baru bisa berbicara seperti itu pada usia 4 tahun. Inilah yang disebut dengan Usia Mental. Berarti IQ si anak adalah 4/3 x 100 = 133.

Interpretasi atau penafsiran dari IQ adalah sebagai berikut :

TINGKAT KECERDASAN

IQ

Genius

Di atas 140

Sangat Super

120 - 140

Super

110 - 120

Normal

90 -110

Bodoh

80 - 90

Perbatasan

70 - 80

Moron / Dungu

50 - 70

Imbecile

25-50

Idiot

0 - 25

2. Kecerdasan Emosional (EQ)

EQ adalah istilah baru yang dipopulerkan oleh Daniel Golleman. Berdasarkan hasil penelitian para neurolog dan psikolog, Goleman (1995) berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual atau “Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh emosi.

Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.

Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.

Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.

Beberapa pengertian EQ yang lain, yaitu :

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan individu untuk mengenal emosi diri sendiri, emosi orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola dengan baik emosi pada diri sendiri dalam berhubungan dengan orang lain (Golleman, 1999). Emosi adalah perasaan yang dialami individu sebagai reaksi terhadap rangsang yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Emosi tersebut beragam, namun dapat dikelompokkan kedalam kategori emosi seperti; marah, takut, sedih, gembira, kasih sayang dan takjub (Santrock, 1994).

Ø Kemampuan mengenal emosi diri adalah kemampuan menyadari perasaan sendiri pada saat perasaan itu muncul dari saat-kesaat sehingga mampu memahami dirinya, dan mengendalikan dirinya, dan mampu membuat keputusan yang bijaksana sehingga tidak ‘diperbudak’ oleh emosinya.

Ø Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan menyelaraskan perasaan (emosi) dengan lingkungannnya sehingga dapat memelihara harmoni kehidupan individunya dengan lingkungannya/orang lain.

Ø Kemampuan mengenal emosi orang lain yaitu kemampuan memahami emosi orang lain (empaty) serta mampu mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain yang dimaksud.

Ø Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan mendorong dan mengarahkan segala daya upaya dirinya bagi pencapaian tujuan, keinginan dan cita-citanya. Peran memotivasi diri yang terdiri atas antusiasme dan keyakinan pada diri seseorang akan sangat produktif dan efektif dalam segala aktifitasnya

Ø Kemampuan mengembangkan hubungan adalah kemampuan mengelola emosi orang lain atau emosi diri yang timbul akibat rangsang dari luar dirinya. Kemampuan ini akan membantu individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain secara memuaskan dan mampu berfikir secara rasional (IQ) serta mampu keluar dari tekanan (stress).

Manusia dengan EQ yang baik, mampu menyelesaikan dan bertanggung jawab penuh pada pekerjaan, mudah bersosialisasi, mampu membuat keputusan yang manusiawi, dan berpegang pada komitmen. Makanya, orang yang EQ-nya bagus mampu mengerjakan segala sesuatunya dengan lebih baik.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Dapat dikatakan bahwa EQ adalah kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya infomasi tidak hanya didapat lewat panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati. Malahan sumber infomasi yang disebut terakhir akan menyaring dan memilah informasi yang didapat dari panca indra.

Substansi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya Dapat dimengerti kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya juga baik. Tidak lain karena orang tersebut dapat merespon tuntutan lingkungannya dengan tepat .

Di samping itu, kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental kebijaksanaan dan penguasaan diri. Oleh karena itu EQ mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap dirinya (intra personal) seperti self awamess (percaya diri), self motivation (memotivasi diri), self regulation (mengatur diri), dan terhadap orang lain (interpersonal) seperti empathy, kemampuan memahami orang lain dan social skill yang memungkinkan setiap orang dapat mengelola konflik dengan orang lain secara baik .

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan. Mantan Presiden Soeharto dan Akbar Tandjung adalah contoh orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, mampu mengendalikan emosinya dalam berkomunikasi.

Dalam bahasa agama , EQ adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-naas". Pusat dari EQ adalah "qalbu" . Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak. Hati adalah sumber keberanian dan semangat , integritas dan komitmen. Hati merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi dorongan untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.

3. Kecerdasan Spiritual (SQ)

Selain IQ, dan EQ, di beberapa tahun terakhir juga berkembang kecerdasan spiritual (SQ = Spritual Quotiens). Tepatnya di tahun 2000, dalam bukunya berjudul ”Spiritual Intelligence : the Ultimate Intellegence, Danah Zohar dan Ian Marshall mengklaim bahwa SQ adalah inti dari segala intelejensia. Kecerdasan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah kaidah dan nilai-nilai spiritual. Dengan adanya kecerdasan ini, akan membawa seseorang untuk mencapai kebahagiaan hakikinya. Karena adanya kepercayaan di dalam dirinya, dan juga bisa melihat apa potensi dalam dirinya. Karena setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan juga ada kekurangannya. Intinya, bagaimana kita bisa melihat hal itu. Intelejensia spiritual membawa seseorang untuk dapat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, dan tentu saja dengan Sang Maha Pencipta.

Denah Zohar dan Ian Marshall juga mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan, karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul (Spiritual).

Selain itu menurut Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001, IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’

Kecerdasan spiritual ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkapling-kapling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.

Mengenalkan SQ Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.

sumber :
http://4gus3.blogspot.com/2009/05/pengertian-atau-definisi-dari-iq-eq-dan.html

Hubungan antara manusia dengan lingkungan

Wacana ramah dan kelestarian lingkungan hidup belakangan menjadi tren dalam kancah lokal, nasional maupun internasional. Hal ini disebabkan karena lingkungan hidup menyangkut hajat dan kepentingan orang banyak. Istilah itu kemudian dikaitkan dengan banyak dimensi, seperti alat transportasi, perumahan, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, pabrik, obat-obatan, dan lainnya. Bila dua kata itu gencar dijadikan bahan kampanye dimana-mana –terutama oleh para aktivis lingkungan—, maka berarti selama ini ada pihak yang tidak ‘ramah’ terhadap lingkungan.

Perlu diingatkan, lingkungan dan alam dunia ini merupakan tempat utama untuk beraktualisasi, bereksistensi dan berinteraksi bagi manusia. Hubungan antara sesama manusia dengan makhluk lain bisa dijalankan dengan baik apabila terjadi simbiosis mutualisma, dengan prinsip kerjasama yang saling menguntungkan. Masing-masing saling memberi ruang dan kemerdekaan hidup, sehingga terjalin keselarasan dan keserasian. Jika tidak demikian, maka dipastikan terjadi ketimpangan, bahkan bencana besar mengancam.
Kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup (environmental degradation), baik di kota maupun di desa, disebabkan manusia tidak mampu memperlakukan lingkungan dan alam sekitarnya secara proporsional.

Akibatnya dapat dilihat pada dua segi. Pertama, degradasi yang bersifat fisik (environmental degradation of physical nature), yakni gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam, seperti pencemaran air, pencemaran udara dan pencemaran suara. Pencemaran ini bisa menyebabkan gangguan kesehatan temporer atau cacat seumur hidup bahkan dapat mematikan penduduk, hewan langka menjadi punah serta tanah kritis.
Kedua, degradasi yang bersifat masyarakat atau sosial (environmental degradation of societal nature), yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri dan dapat menjadikan kehidupan tidak tenang serta timbul rasa jenuh, rasa kesal atau rasa jijik untuk tinggal di suatu tempat. Misal, kepadatan atau kesibukan kendaraan yang menghambat perjalanan, tumpukan sampah yang menyebarkan bau busuk, terlantarnya bangunan-bangunan di kota, dan semakin meningkatnya tenaga jasa halus haram atau para tuna susila.

Selain faktor mentalitas dan ulah manusia, sumber penyebab kerusakan lingkungan hidup ternyata tidak lepas dari kemajuan teknologi dan arus modernisasi. Aktivitas manusia dengan teknologi sederhana, tradisional maupun teknologi maju rupanya telah banyak menggoyahkan lingkungan dalam arti negatif, karena kurangnya kesadaran dan perhatian manusia dalam memanfaatkan teknologi tersebut. Kedua penulis buku ini mengharapkan, kemajuan teknologi dan modernisasi pada sisi lain harus mampu menyelesaikan dan melenyapkan pencemaran lingkungan di kota dan di desa. Di samping itu, penyelesaian sebaiknya mengedepankan pendekatan manusiawi (human approach).

Keberhasilan pembangunan lingkungan di kota dan di desa, khususnya dalam rangka menghilangkan dampak interaksi yang negatif atau destruktif, mutlak diperlukan adanya disiplin bangsa, disiplin aparatur negara dan disiplin rakyat. Disiplin diartikan dengan pematuhan secara ketat pada peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang sudah disetujui bersama. Disipilin juga mengandung beberapa unsur, antara lain unsur patuh, unsur taat, unsur mental, unsur moral, unsur kejujuran, unsur keteraturan (ke-ajegan), dan unsur ketertiban.

Kedisiplinan jelas memiliki kaitan terhadap konsekuensi hukum. Bila ada pihak yang tidak disiplin atau melanggar hukum lingkungan, maka sanksi yang dikenakan wajib bersifat edukatif, agar suatu saat tidak mengulangi perbuatan serupa dan bisa menjadi pelajaran bagi pihak lain agar tidak meniru. Menurut penulis buku ini, harus dihindari hukuman pada seseorang yang bersifat memotong, mematikan dan tidak memberi kesempatan untuk memperbaiki diri, kecuali pada kesalahan berat yang tidak terampuni lagi. Hal ini dikarenakan oleh suatu kearifan umum bahwa kebenaran dan kesalahan bukan monopoli suatu kelompok.

Masalah lingkungan hidup memang tidak kalah pentingnya dengan problem sosial dan ekonomi yang memerlukan perhatian serius semua pihak. Kesadaran mengenai arti penting lingkungan yang sehat dan lestari perlu diberikan kepada setiap insan, demi keberlangsungan hidup bersama. Kesejahteraan kolektif salah satunya dipengaruhi oleh kelayakan lingkungan. Untuk itu, manusia jangan sekali-kali berani merusak alam, tetapi berkewajiban untuk menjaga, merawat dan mengembangkan kelestariannya. Dengan kata lain, kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa, yang menunjuk pada harmoni hubungan antara manusia dengan alam.

Hubungan harmonis antara manusia dengan alam akan bermuara pada pembentukan jalmâ utâmâ, sarirâ bathârâ atau insan kamil, yakni manusia paripurna yang menggambarkan sejati-jatining satriya atau sejati-jatining manungsa yang membawa misi hamemayu hayuning bawana. Di antara ciri-cirinya terlihat keharmonisan pada dimensi lahir batin, jiwa raga, intelektual spiritual dan kepala dadanya, yang akan melahirkan nilai-nilai humanisme. Karena itu, tanpa adanya hubungan manusia dengan Tuhan yang bersifat teologis (hablu minallah), maka hubungan kemanusiaan (hablu minan naas) akan cenderung semu, munafik dan eksploitatif.

Kearifan lingkungan merupakan kata kunci untuk membentuk keseimbangan bagi kehidupan. Hamba yang beriman adalah manusia yang mampu menjaga keseimbangan: senantiasa bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung kemanusiaan dan memanusiakan manusia serta merawat alam semesta sebaik-baiknya. Sebaliknya, hamba yang kufur ialah manusia yang melalaikan Tuhan Yang Maha Pemurah, mengkhianati kemanusiaan dan merusak alam serta menghancurkan isinya. Atas dasar tersebut, sudah saatnya manusia memaknai bumi beserta isinya bukan sekadar obyek eksploitasi, melainkan menjadi sahabat dan guru agar kehidupan ini menjadi harmoni, damai di bumi dan bahagia di langit.


Potensi-potensi manusia

Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala). (HR. Bukhari)

Kata fitrah sebenarnya ada beberapa pengertian, tidak selamanya diartikan seperti kertas putih yang tidak ada noda. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Hasan Langgulung (Allahyarham), bahwa Allah menyertakan kepada anak yang baru lahir itu “fithrah“, yang diartikannya sebagai potensi. Jadi menurutnya, bahwa anak manusia tidak lahir dalam keadaan kosong, melainkan membawa potensi-potensi. Potensi-potensi tersebut adalah 99% kemungkinan Asmaul Husna. Misalnya, Ar-Rahman (Maha Pengasih). Kalau yang dikembangkan bersama-sama dengan keluarga dan masyarakatnya adalah Ar-Rahman, maka Ar-Rahman itulah yang kemudian tampil dalam kehidupannya. Tetapi jika yang dikembangkan adalah Al-Qahhar (Maha Perkasa), maka kemungkinan anak tersebut akan menjadi orang yang keras.

Sejak kita berada di dalam rahim, Allah telah menanamkan ketauhidan kepada kita. Allah juga merekam semua apa yang kita kerjakan di dalam hidup ini. Suatu saat nanti, semua yang telah kita lakukan itu akan diperlihatkan kepada kita.

Di dalam Surah Al-Israa disebutkan:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan),” (Q.S. Al-A’raaf: 172)

Ketika berada di dalam rahim itu 120 hari, maka ditiupkan ruh. Terjadi konsepsi kehidupan manusia. Pada saat itu ruh itu ditanya: Bukankah Aku ini Tuhanmu?

Kita memang tidak sadar ketika itu, dan memang dibuat kita tidak merasa, karena kalau kita sadar, maka yang kasihan adalah si ibu. Allah menjadikan kita tidak sadar di dalam rahim agar tidak menyengsarakan si ibu. Tetapi terjadi dialog itu.

Kemudian kita dibekali berbagai potensi. Ketika kita lahir, yang pertama diberikan oleh Allah adalah “al-gharizah” (insting). Insting tersebut yaitu berupa tangisan. Tangisan merupakan hidayah Allah yang pertama kali diberikan kepada kita. Ketika ada seorang anak manusia yang terlahir tidak ada suaranya, maka itu merupakan tidak adanya tanda-tanda kehidupan. Tangisan pada bayi menunjukkan adanya kehidupan.

Tetapi, insting ini sangat terbatas. Insting adalah sesuatu yang bisa dikerjakan tanpa dipelajari.

Dalam tafsirnya, Prof. Dr. Ahmad Mustafa Al-Maraghi menyatakan, bahwa Allah memberikan kepada manusia lima hidayah sebagai modal hidup, yaitu:

Pertama, gharizah (insting).

Dibandingkan dengan manusia, ternyata ada hewan yang instingnya lebih hebat daripada manusia. Misalkan, bebek ketika lahir langsung bisa berenang. Jadi, kalau kita mengandalkan insting, maka kita kalah dengan hewan. Jadi, kita tidak bisa hanya mengandalkan insting.

Kedua, indera.

Di dalam psikologi, ternyata indera itu tidak hanya sebanyak lima, melainkan banyak. Antara lain ada indera keseimbangan yang berada di lorong telinga, dan juga indera kinestetik yang berada di persendian. Karena itulah, kita bisa duduk dan bisa berdiri karena indera kinestetik kita bekerja. Kalau indera kinestetik ini tidak bekerja, maka kita tidak bisa berdiri, tidak bisa berjalan, dan sebagainya. Karena itulah, orang yang sedang pingsan, maka ia akan terjatuh, karena indera kinestetisnya tidak bekerja. Dan masih banyak lagi.

Indera diperlukan. Tapi kalau hanya indera saja yang diandalkan, maka kita kalah dengan binatang. Indera penglihatan tikus dan elang lebih hebat dari kita. Indera penciuman anjing juga lebih hebat dari manusia. Jadi, kita tidak bisa mengandalkan indera saja.

Ketiga, akal.

Akalpun ternyata tidak bisa diandalkan. Manusia diberikan akal oleh Allah, dan dikatakan juga bahwa hewan tidak diberikan akal oleh Allah. Tetapi di dalam ilmu psikologi disebutkan, bahwa inteligensi hewan itu ada, namun sangat kecil dan sangat rendah dibandingkan dengan manusia. Yang paling tinggi dan mendekati manusia tingkat inteligensinya adalah simpanse. Di Ragunan, satu-satunya hewan yang mempunyai meja makan, ada piringnya, dan juga ada kursinya adalah simpanse. Di Jerman ada seorang dokter yang mempekerjakan simpanse untuk memberi kartu kepada pasien-pasiennya yang datang. Di Perancis ada simpanse yang dipekerjakan untuk memunguti telur-telur ayam pada suatu peternakan. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh simpanse itu tidaklah seperti apa yang bisa dilakukan oleh manusia. Tapi dalam hal ini, simpanse lebih tinggi inteligensinya dibandingkan dengan hewan yang lain.

Kalau kita mengandalkan akal pikiran, ternyata tidak semuanya bisa dijawab. Misalkan ditanyakan, angka berapa yang paling kecil? Ada yang mengatakan 1, ada juga yang mengatakan bahwa 0 lebih kecil dari 1. Kalau ditanyakan, lebih kecil mana dibandingkan dengan -1, maka akan ada yang mengatakan bahwa -1 lebih kecil dari 0. Jadi, minus berapakah yang paling kecil? Tenyata tidak terbatas. Akal kita tidak mampu menjawab ini. Artinya, bahwa tidak segala-galanya akal manusia itu mampu menyelesaikan masalah. Karena itulah, Allah memberikan kita hidayah yang keempat, yaitu hati (qalb).

Keempat, hati (qalb).

Hati (qalb) yaitu sebuah institusi yang ada dalam diri manusia, namun kita tidak tahu tempatnya di mana. Qalb inilah yang tak pernah membohongi manusia. Karena itulah, orang beriman harus dengan hati, karena indera sering membohongi manusia.

Kalau seseorang melakukan suatu keburukan ataupun kejahatan, mungkin bisa disembunyikan dengan tingkah laku, tapi hati tak bisa dibohongi. Hati kita pasti berkata, “Aku berbohong.” Hanya qalb yang merupakan institusi yang tak pernah membohongi manusia. Di dalam hadis Rasulullah dikatakan:

Indikator suatu dosa itu dapat dilihat dari dua faktor: pertama, membuat suatu rasa yang lain di dalam hati. Setelah melakukan suatu dosa, kita pasti ada rasa yang lain, yaitu rasa bersalah di hati, karena hati tak pernah membohongi manusia. Karena itulah, Allah senantiasa melihat qalb manusia, bukanlah pada penampilannya. Rasulullah menyatakan:

Allah tidak melihat mukamu, bukan melihat bentuk tubuhmu, tetapi yang dilihat adalah hatimu.

Tidak ada yang tahu hati kita, meskipun sebenarnya pada kehidupan kita biasanya kalau ada pohon yang rindang, maka akarnya itu kuat. Kalau ada orang yang amal ibadahnya bagus, istiqamah, konsisten, maka pasti di dalamnya juga bagus. Kalau kita konsisten melakukan amal ibadah, insya Allah iman yang bersemi di dalam hati kita ini memang kuat. Di dalam Alquran disebutkan, bahwa qalb itu adalah sesuatu yang bergerak. Disebut qalb yang itu adalah sesuatu yang bergerak, karena qalb itu biasanya bolak-balik. Tetapi bagaimana caranya agar qalb itu tidak bolak balik? Bagaimanakah caranya agar seperti kompas, di mana saja selalu menunjuk ke utara? Bagaimanakah caranya agar hati itu terus mu-allafun bil masajid? Bagaimanakah caranya agar hati itu selalu menghadap ke kiblat? Bagaimanakah caranya agar hati itu selalu terpaut (terikat) dengan masjid?

Qalb hanya dimiliki oleh manusia. Di dalam ilmu psikologi, perbedaan antara manusia dengan hewan itu bukan hanya pada akalnya, tetapi juga pada beberapa hal. Pertama, bahwa manusia mempunyai kepekaan sosial, sedangkan hewan tidak mempunyai kepekaan sosial. Munculnya kepekaan sosial itu karena ada hati (perasaan) kita. Kalau ada orang yang tidak mempunyai kepekaan sosial terhadap sesama manusia, berarti orang tersebut tidak mempunyai hati.

Kedua, manusia mempunyai usaha dan perjuangan, yang ini juga merupakan hal yang membdakan manusia dengan hewan. Dari dulu, sarang yang dibuat oleh hewan itu selalu sama seperti itu saja bentuknya. Sedangkan manusia selalu terjadi perkembangan. Dahulunya manusia mungkin bertempat tinggal di gua, kemudian berkembang dengan membuat rumah di pohon, kemudian berkembang lagi dengan membuat rumah ataupun tempat tinggal yang nyaman lagi hingga seperti sekarang. Bahkan suatu saat nanti mungkin saja manusia akan tinggal di bulan ataupun ruang angkasa.

Kelima, agama (ad-din).

Kalau hanya hati saja, maka keatika dia merasa kasihan terhadap orang lain, bisa jadi semua hartanya diberikan kepada orang tersebut. Tetapi agama mengatakan, bahwa memberi sumbangan itu ada batas-batasnya, tidak boleh terlalu boros, juga tidak boleh terlalu kikir, melainkan berada di tengah-tengahnya. Agama lah yang mengatur demikian. Maka manusia diberi hidayah yang ke lima, yaitu hidayatul adyan (hidayah agama). Agama lah yang menjadi wasit (hakim).

Dalam hal ini, Alquran merupakan pedoman bagi umat manusia. Kalau Alquran tidak difungsikan, maka dia tidak berbicara dan tidak bermakna apa-apa.

Sama halnya dengan alat-alat elektronik yang terdapat buku panduan (manual) nya, yang jika kita mengikuti aturan di dalam buku panduannya, maka insya Allah barang-barang elektronik kita akan awet. Yang paling tahu mengenai alat-alat elektronik tersebut adalah pabriknya. Begitu juga dengan manusia, lahir mengarungi kehidupan di dunia ini menjaid khalifah disertakan dengan manual (buku petunjuk). Buku petunjuknya adalah Alquran. Sepanjang kita mengikuti aturan-aturan di dalamnya, maka kehidupan kita takkan tersesat. Yang paling mengetahui bahwa kehidupan manusia takkan tersesat adalah penciptanya, yaitu Allah.

Persoalannya, kita tidak mungkin memahami semua makna Alquran. Karena itulah, ada usaha yang bisa kita lakukan seperti dengan mengikuti pengajian. Kalau kita mau belajar sendiri, kadang-kadang kita tidak bisa sepenuhnya untuk memahami isi Alquran.

Alquran menjadi wasit (hakim), pedoman hidup, sehingga bisa membahagiakan kehidupan dunia dan akhirat.

Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala). (HR. Bukhari)

Setelah Allah memberikan modal bagi manusia, maka selanjutnya adalah peranan orang tua dan lingkungan membentuk manusia tersebut. Karena kehidupan kita bukan hanya potensi yang dibawa ketika lahir, melainkan persentuhan antara lingkungan juga akan mewarnai dalam kehidupan. Allah tidak memberikan kepada kita ketika lahir langsung diwajibkan salat. Diberikan waktu untuk belajar, yaitu sampai masa baligh.

Oleh karena itu, mulai saat lahir (bahkan sebelumnya), kita sudah harus memberikan rangsangan-rangsangan keagamaan kepada anak kita. Allah sudah menyediakan potensi-potensi, maka fungsi selanjutnya adalah tugas kita membentuk potensi-potensi tersebut.

Kini ada ilmu yang dinamakan Ilmu Haptonomi (sedang dikembangkan di Eropa). Menurut ilmu ini, bahwa anak yang masih berada di dalam kandungan mesti sudah diberikan rangsangan-rangsangan pendidikan (termasuk juga rangsangan keagamaan).

Seorang ahli Haptonomi mengatakan, bahwa ketika janin sudah berusia 7 bulan, maka sudah boleh diajak main “petak-umpet”. Maksudnya yaitu dengan memberikan rangsangan-rangsangan kasih sayang, juga berbicara dengan si janin yang masih berada di kandungan itu.

Menurut para ahli psikologi, meskipun janin tersebut belum bisa berkomunikasi, belum ada reaksi, tetapi sebetulnya hal yang dilakukan itu bisa berpengaruh terhadap anak tersebut. Sama halnya ketika memandikan bayi, maka bayi tersebut tak ada salahnya untuk diajak berbicara (berkomunikasi). Jadi salah kalau ada yang mengatakan, bahwa bayi baru boleh diberikan rangsangan ketika sudah bisa berbicara, karena hal tersebut sudah terlambat sekali.

Ada buku yang ditulis oleh seorang pakar di Jepang menyatakan, bahwa memberikan pendidikan pada anak pada usia TK sudah sangat terlambat.

Islam dalam hal ini menuntun kita, bahwa begitu lahir, maka diazankan di telinga kanannya, diiqamahkan di telinga kirinya. Ada ulama yang menyatakan bahwa hadis ini tidak begitu kuat. Tapi tak apa-apa. Hal ini sesuai dengan penelitian psikologi, bahwa memperdengarkan kepada anak sesuatu yang berharga, maka itu akan diserap, walaupun belum ada reaksi secara langsung yang kita lihat.

Diazankan dan diiqamahkan adalah kalimah tauhid yang pertama kali kita perdengarkan, dan itu bisa berpengaruh. Sampai-sampai orang-orang barat itu waktu masih di dalam rahim dianjurkan untuk memperdengarkan alunan musik klasik, katanya bisa mempengaruhi otak. Bagi orang Islam, mungkin yang lebih baik adalah lantunan ayat-ayat suci Alquran.

Kemudian anak tersebut diaqiqahkan. Ini sebenarnya hanya sunnah muakkad. Diaqiqahkan untuk menginformasikan, bahwa telah lahir seorang anggota masyarakat muslim yang baru.

Setelah itu, anak tersebut juga diajarkan Alquran, akhlak, dan juga berbagi dengan orang lain. Berbagi itu merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan. Karena itulah, seorang anak kecil sudah harus dibiasakan berbagi dengan orang lain.

Tidurnya dipisah dengan ayah dan ibunya setelah maksimum berumur 10 tahun. Kalau ajaran Islam menyatakan, maksimum usia anak 10 tahun.

Banyak sekali yang terjadi kini, namun jarang sekali terungkap, yaitu inses (hubungan seks sedarah). Ini mungkin karena tidak dibiasakan tidurnya dipisah dengan orang tuanya.

Di dalam Surah An-Nuur disebutkan, bahwa ada tiga aurat yang seorang anak tidak boleh masuk sembarangan ke dalam kamar orang tuanya: pertama, sesudah dzuhur (mungkin karena akan istirahat siang). Kedua, salat ashar. Ketiga, pada waktu subuh.

Hal ini bahkan bagi anak yang belum baligh, apalagi yang sudah baligh.

Dalam mempersiapkan masa aqil baligh, orang tua harus memberikan penjelasan-penjelasan tentang menjelang masa kedewasaan. Kalau anak laki-laki, maka ayahnya yang memberikan penjelasan. Kalau akan perempuan, ibunya yang menjelaskan. Dan yang paling penting dicamkan ketika mereka sudah aqil baligh itu, bahwa pada masa itu mereka sudah harus bertanggung jawab secara individual kepada Allah.

Mungkin pada masa kita dahulu orang tua kita tidak menjelaskan hal-hal seperti ini. Maka sekarang kalau kita mempunyai anak, maka kita harus menjelaskan kepada anak kita, baik itu cara pencegahannya, cara mandi besarnya, harus membatasi penglihatannya dengan lawan jenis, dan sebagainya.

Inilah yang terpenting dalam kehidupan masa remaja anak-anak kita. Sebagai orang tua, kita bertanggung jawab akan hal ini. Orang tua lah yang membentuk anak itu menjadi hitam atau putih.

Di dalam Alquran ada pengecualian untuk ini, yaitu ada dua contoh yang disebutkan oleh Allah. Dua contoh tersebut adalah dua anak manusia yang hidup di alam yang berbeda, tetapi hasilnya juga berbeda. Ada Qanaan yang merupakan anaknya Nabi Nuh, yang satu lagi Ibrahim anaknya Azar. Qanaan, walaupun anak Nabi, tapi kemudian Qanaan menjadi kafir. Ibrahim, walaupun ia lahir di tengah-tengah penyembah berhala, ayahnya merupakan pembuat patung yang disembah-sembah oleh orang ketika itu, tetapi Ibrahim kemudian menjadi orang yang bertauhid.

Yang harus kita lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin. Ketika nanti ternyata hasilnya berbeda dengan yang kita usahakan, maka kita sudah bebas tanggung jawab. Tapi kalau kita tidak berusaha, kemudian hasilnya tidak baik, berarti usaha yang kita lakukan tidak maksimal, dan itulah yang dinilai oleh Allah.

Paman Rasululah (Abu Thalib) ketika akhir hayatnya tidak sempat mengucapkan dua kalimah syahadah. Ketika pamannya wafat, Rasulullah mendoakannya, yang kemudian turun ayat:

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (Q.S. Al-Qashash: 56)

Jadi, kita jangan gampang menghukumi orang. Ada orang yang bapaknya begitu alim dan baik, kemudian anaknya menjadi jahat. Kalau bapaknya sudah berusaha keras, ternyata anaknya masih juga menjauhi jalan yang benar, maka tinggal diserahkan kepada Allah. Kewajiban kita hanya berusaha menyampaikan dengan sejelas-jelasnya.

sumber :
http://komunitasamam.wordpress.com/2009/04/10/menata-kembali-hubungan-manusia-dengan-lingkungan/
http://thenafi.wordpress.com/2009/02/04/mengembangkan-potensi-potensi-manusia-yang-diberikan-oleh-allah/